Rabu, 09 Oktober 2013

berlalu seperti hujan


Dalam tubuhku
Megalir cinta kita
Yang begitu syahdu
Mengalun riang gembira
Aku menjadi doa bagimu
Begitu juga kau
Menjadi malam bagiku
Dimana aku selalu
Bersahaja memikirkan
Tubuh-tubuh kita
Sajak yang di tulis Iwan untuk Ran ketika Iwan akan pergi, pulang kembali ke kotanya. Kota itu telah dilewati hujan, sisa genangan air yang tercipta oleh sisa hujan sore itu membuat suasana menjadi melankolis. Halte itu selalu menceritakan pada Ran kembali, tentang Iwan dan sajaknya. Kota itu mereka namakan kota Melankolia. “kenapa melankolia?” tanyaku.
“ya, lihatlah seperti melow saja, redupnya kota setelah hujan, membuat saya tidak akan pernah lupa saat bersama seseorang seperti ini”, mengakhiri katanya dengan senyum dan mengajak kembali melanjutkan perjalanan.
“Kau tahu Ran, aku akan sangat merindukan mu ketika aku melihat senja yang jingga ungu dan bulan sempurna itu. Sempurna itu ketika aku dapat bermandikan cahaya bulan bersama mu. Menghapus bintang dan hanya kita yang akan menemani bulan semalaman.”
Ran hanya senyum dan memeluk erat tubuh Iwan. Karena setelah ini dia tahu kesibukan, waktu dan jarak akan memisahkan mereka. Akan ada rindu yang membajiri nafas sanubari keduanya.
“Ran, aku pulang. Kalau ada waktu kita bahas lagi.”
“Ia, aku tunggu”, jawab ku dan tak lupa ku akhiri dengan senyum untuk menandai kepergiannya.
Mata Ran tidak membiarkan sedikit gerak iwan terlewati ketika masuk bus, bahkan ketika bus berangkat dan mulai melaju ia juga mengikutinya hingga Ran memutuskan berhenti di sebuah persimpangan tempat pertama kali ia menjemput Iwan. Bukan Kekasinya tetapi Ran merasa bahwa Iwan ada orang yang luar biasa. Bukan juga Ran menjadi terpesona dengan puisi-puisi yang sering di utarakan oleh Iwan, tetapi Iwan membuatnya terispirasi dan termotivasi untuk mengukir sebuah tulisan.
“Aku dan kamu bertemu kembali karena puisi. Masih banyak puisi yang akan menemani malam-malam mu setelah ini”. Itu yang selalu di katakan ketika Iwan menanyai keadaanku.
Sebelumnya tidak pernah terfikirkan tidak akan berbicara sejauh ini. Dia seorang laki-laki, tapi lebih layak dikatakan sebagai pria karena dapat di golongkan pria mapan. Seorang pekerja seni yang menghibur para tamu dalam undangan pentasnya, seorang guru yang mengajarkan seni pada muridnya bagaimana mewarnai hidup, dan juga seorang dosen yang mengajarkan bagaimana berkesenian dalam kehidupan. Denganku ia menjadi seorang tutor, pemberi motivasi dan pemberi materi tentang bagaimana berpola fikir yang baik dan menjadi seorang perempuan bahkan wanita yang memiliki sesuatu yang bisa dijadikan bekal masa depan.
Awalnya biasa saja, berbincang seadanya bersama teman lainnya. Aku mengambil posisi kursi paling tepi dari jalan tengah kursi penonton. Mataku saja yang sepertinya menguasai seluru isi dari panggung itu. Memandang seseorang yang berada paling belakang barisan dan sebagai pawang gendang yang ia mainkan. Bergoyang seperti ilalang yang ditiup angin sepoi-sepoi tanda ia menikmati permainan musiknya, aku menikmati tarian kecilnya dan alunan gendangnya. Seperti menatapku dan aku tersenyum dan memberikan tepuk tanggan dan diikuti oleh penonton lain, musik tradisional yang indah membuat aku berangan dan menari dalam sebuah tarian spektakuler yang aku pimpin dan menikmati terus alunan musik dan hitungan gerakan berirama. Tidak terasa tubuhku ikut bergoyang kecil dan sedikit mengangkat kakiku yang saling bertindihan.
Ternyata baru acara pembuka, pembawa acara menyapa para tamu yang datang pada acara tersebut dan membacakan apa saja pertunjukan yang akan ditampilkan pada malam ini. Aku tetap duduk manis di kursiku, musik parodi dimainkan pemain berwajah cat putih masuk dengan gaya khas tanpa suara. Masuk lagi pemain berikutnya, masih dengan tata rias yang sama. Terlihat konyol dan dengan koreo yang lebih lucu, kembali aku tidak bergeser dari tempat duduk semula. Tertawa dan hanya memandang di depan sana berharap bisa berbincang dengan salah satu di antara mereka, tepatnya hanya mereka berdua. Dasarnya hanya karena terlihat konyol saat di panggung, mungkin saja kalau aku berkomunikasi dengan mereka.
Musik berhenti dan diikuti pula dengan usainya parodi konyol itu. Masih ada pertunjukan yang akan disuguhkan oleh mereka. Kembali aku melirik ke kanan panggung dan mencari pemain parodi konyol itu. Tidak terlihat lagi batang hidungnya. Kini set panggung telah berubah seperti hutan belantara. Lagi-lagi ada saja orang yang menarik perhatian, membuat ku semakin ingin tahu siapa mereka di balik topeng dan perannya. Ku nikmati pertunjukan dengan lampu yang hanya menyorot pentas, yang seperti pemandu dan berkata “perhatikan saja pertunjukan mereka”.
Gemuruh tepuk tangan memecahkan hening yang sempat terjadi. Pertunjukan itu sukses tidak hanya mencuri perhatian ku tapi juga perhatian orang-orang yang hadir, dan pertunjukan diakhiri dengan memberikan ucapan selamat kepada seluruh pengisi acara. Aku dapat bagian itu karena aku bagian dari perwakilan sekolah. Kesempatan tidak ku sia-siakan untuk mengenali siapa mereka.
“hay, selamat ya sukses pertunjukannya. Yang tadi itu konyol tapi keren”. “makasih ya”. Hati ku melonjak, secepat kilat ku genggam kamera dan berfoto bersamanya. Tentunya dia tidak menolak, beberapa kali jepretan aku menyudahi perkenalan malam itu.
“hey, besok datang lagi ya!”.
“Pasti”, ku akhiri dengan senyum.
Pagi-pagi sekali aku berangkat ke sekolah, tidak banyak waktu untuk hari itu aku harus menemui Yus. Di Setiap kelas, aku menghampiri dan bertanya pada setiap siswa yang kukenal.
“Ada yang liat Yus ga?”. Jawabannya hanya gelengan kepala. Sepertinya aku mulai lelah dan memilih untuk beristirahat dan duduk di ruangan yang masih kosong, hanya berkata di dalam hati “mungkin kalau aku tunggu di sini, Aku bisa ketemu Yus”. Tak lama kemudian bel masuk, ruangan itu masih kosong. “Apa mungkin Yus ga masuk? Ah ga mungkin, mungkin lewat pintu lain dan udah di kelas”. Aku kembali ke ruangan guru, hari ini jam kosong untuk ku. Karena masih honor, jam mengajarku tidak banyak. Aku memilih menunggu di kantor, karena hari ini jadwal piket ku.
“Tok, tok, tok”, aku menoleh. “Ada apa Yus?”.
“Kak aku minta surat ijin untuk ninggalin jam pelajaran”.
Sambil menyodorkan sepotong kertas kecil, “kamu mau kemana?”.
Sambil mengisi lembar surat ijin, “Aku harus balik lagi ke gedung Pemuda kak, karena harus cek alat untuk pertunjukan nanti malam. Eh kak ada yang minta nope kakak, di kasi gak nih?”
“Siapa Yus?” Sedikit melotot.
“Yang main parodi kak.” Memberikan ponselnya.
Sambil tersenyum aku menulis nomor ku di ponsel milik Yus.
“Kak, kemarin-kemarin aku yang minta nope kakak gak di kasi” Yus menampakkan mukanya yang cemberut, dan segera berlalu.
“Kamu adik aku Yus”
“Akh, terserah sama kakak aja, aku mau pergi udah telat”. Berlalu dengan wajah yang masih cemberut.
Sambil menunggu bel jam istirahat aku tetap tenang di tempat semula. Handphone berbunyi, satu buah pesan singkat dengan nomor baru dan isinya mengajak untuk berkenalan. Dengan sigap Ran balas SMS itu, dalam hatinya berharap bahwa itu Si Pemain parodi. “Ternyata dugaanku benar, itu orang yang aku tunggu” berkata dalam hatinya. Berlagak pura-pura tidak tahu, Ran bertanya siapa dia, dan apa pun yang ia rasa itu sebuah informasi penting tentang pemuda itu. Dan dia Edwin si pemain parodi konyol itu.
Malam ini ada pentas lagi, aku harus segera berangkat. Ran sudah terlanjur berjanji pada Edwin. Dengan makeup seadanya Ran berangkat lebih awal supaya Ia lebih banyak waktu yang mengiringinya untuk berbincang-bincang bersama Edwin. Ternyata hanya kalah dengan hitungan menit, membuat Ran didahului oleh ruang makeup yang membuat Edwin lebih memilihnya. Ran mencari posisi duduk yang menurutnya ia dapat memandang ke arah pintu belakang mengawasi Edwin.
Edwin meminta Ran menemuinya di samping gedung. Larutlah keduanya dalam perbincangan. Sebenarnya Ran hanya ingin berdua bersama Edwin, tetapi teman-teman Edwin satu persatu menghampiri dan memasuki perbincangan mereka. Ada salah satu nama yaitu Iwan lebih banyak bertanya panjang lebar tentang Ran. Bahkan Iwan tanpa sungkan meminta nomor ponselnya. Ran sedikit tidak gembira, tapi Ran berfikir lagi apa salahnya jika hanya sekedar sharing.
“Pementasan segera dimulai. Ran bergabunglah dengan penonton lain, tunggu aku menyelesaikan tugasku.”
“Baiklah.” Ran segera meninggalkan Edwin dan begitu pula sebaliknya.

“Bagaimana, apa kamu udah selesai?” Ran menanyakan lewat telefon.
“Ran, aku malu sebenarnya. Aku keringatan seperti ini, gak apa-apa kan?”
“Keringatan kan manusiawi Win.” Ran menimpali.
“Ran besok malam kita pulang. Aku harap ini bukan terakhir kalinya kita bertemu. Dan besok mungkin kamu bisa ikut kita jalan-jalan sebelum pulang.”
Ran hanya menarik nafas panjang, ia tak mau menjadikan pembicaraan ini basah karena matanya. Ran masih terdiam beberapa saat. Entah apa yang ingin ia katakan sebenarnya.
“Ran, hey kenapa? Kamu nangis ya? Hahaha, ternyata kamu sedih di tinggal aku.”
Mata Ran menatap sinis bercanda pada Edwin, dalam hatinya ia berkata “kenapa tak menunggu dulu untuk beberapa hari lagi.”
“Hey, siapa yang nangis. Aku cuma berdoa semoga kalian gak dapat bis, terus masih ada acara lagi. Jadi bisa lama-lama ngobrol sama liat kamu.”
Keduanya larut dalam pembicaraan hangat yang bertabur tawa, seolah-olah mereka telah kenal sangat lama. Sempat menjadi perhatian beberapa dari teman Edwin, dan beberapa itulah yang membuat Ran juga mengenal mereka.
Mereka menghampiri Ran dan Edwin, sama seperti Edwin ketika memulai pembicaraan dengan Ran seperti teman lama yang berkumpul kembali.
Larut dalam perbincangan hangat, membuat Ran merasakan itu hari terakhir bersama mereka dan tampaknya tak ada pertemuan untuk waktu yang sangat lama. Pembicaraan mereka berhenti sejenak setelah mc memanggil tim berikutnya untuk pentas. Hanya beberapa yang meninggalkan meja perjamuan besar bagi Ran malam ini.
Seorang pemeran utama dalam pementasan drama menghampiri meja tempat mereka berkumpul, menatap ke arah ran dan mengulurkan tangan ke arah Ran, dan Ran pun menerimanya dengan melontaran senyum dan menyebutkan namanya.
“Ran.” Sambil tersenyum.
“Saya Iwan.”
“Win, pantas saja kamu malam ini semangat ternyata oh ternyata. Baru dua hari kamu disini sudah ada yang bela-belain jenguk kamu. Hebat ya, ternyata kamu pandai merayu anak Sma. Ran, memang mau sama Edwin?”
Ran dan Edwin tertawa, mereka bergiliran untuk menimpali ucapan dari Iwan.
“Bang, jangan nyindir segitunya juga kali, ini ibu gurunya si yus. Yus yang jadi pahlawan saya di sini. Kecil-kecil cabe rawit nih.” Edwin tak mampu jika hanya tersenyum ia menahan tawa yang hampir cekikikan. Dengan cepat Ran juga menimpali.
“Separah itu ya Bang, aku di bilang anak Sma.” Dengan muka yang dibuat cemberut dan kemudian tersenyum kembali, dan melanjutkan pembicaraannya.
“Kalau masalah mau atau tidaknya sama Edwin, tergantung Edwinnya.” Dengan senyum yang lebar.
“Ciiiyeeee.” Teman-teman Edwin mengejeknya.
Dengan cepat Ran Menghentikan tawa ejek mereka.
“Kita cuma temenan kan Win.” Sambil mengangkan sikunya ke arah lengan Edwin. Edwin tak mau terus di goda oleh teman-temannya ia menjawab cepat dengan kata ia.
Entah dari mana mulainya pembicaraan Ran dengan Iwan berikutnya, ia hanya ingat ketika memulai pembicaraan dengan Iwan hanya dengan berjabat tangan.
Kembali mc meminta kelompok berikutnya untuk naik ke pentas. Tim iwan lah kali ini yang beraksi. Sebelum meninggalkan Ran, Iwan tak lupa meminta nomor handphone Ran.
Edwin mengajak Ran melihat pertujukan drama, tapi ran memilih untuk tidak bersama Edwin Ran lebih memilih mencari posisi yang lebih nyaman untuk melihat pentas lebih dekat. Ran kali ini tak mengikuti pentas hingga selesai. Ran pamit pada Edwi dan Iwan lewat pesan singkat, bahwa ia segera pulang.
Sudah agak larut malam, telefon genggam Ran berdering. Iwan mengirim pesan singgkat. Pembicaraannya masih saja seperti Edwin, bahwa besok mereka akan pulang ke kota mereka. Masih saja ia menggoda Ran, lewat pesan singkat
“Bakalan ada yang sedih ditinggalin nih..”
“ia sedih ditinggal sama kamu…”
Ran kembali menggoda Iwan, sampai iwan meminta bantuan untuk mengantarnya mencari buat tangan untuk di bawa pulang ke rumah dan juga mengajar Ran untuk ikut bersama rombongan ke tempat wisata.
“Gak enak sama yang lain, nanti dibilang aku dipungut di tepi jalan.”
Ran berfikir kenapa Iwan, kenapa bukan Edwin yang mengajaknya. Ran tak ingat apa-apa lagi setelah itu, ia terlelap.
Hari begitu singkat tak banyak hal yang bisa mereka lakukan bersama. Ran tak selalu bersama Edwin, tetapi ia lebih banyak bertukan fikiran bersama Iwan. Semua hal bisa mereka bicarakan. Ran mengajak iwan ke salah satu tempat dimana Ran sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya di tempat itu. Dari ketinggian disana nampak hamparan hijau, rumah dan kelok jalan yang mereka lalui nampak dari sana.
“Ran, sepertinya aku akan kembali lagi ke tempat ini. Kamu bisakan antar aku lagi ke tempat ini?”
“Tentu, apa sih yang ga buat kamu.”
Ran menggoda Iwan dan saling tertawa. Iwan memuaskan dirinya untuk menikmati tempat itu. Sementara Ran asik berbincang dengan rombongan lain, bercerita tentang tempat yang mereka kunjungi yaitu tempat wisata Bukit Kelam. Tak terasa waktu mulai menjelang senja. Mereka bersiap untuk kembali ke penginapan.
Dan tentang Edwin, hanya sebuah potret yang bisa menceritakan kembali kisah-kisah mereka kelak ketika Edwin telah pergi. Mereka tak banyak bicara berdua. Edwin asik menikmati hari terakhirnya di tempat itu. Ran sedikit kesal kerena ia seperti tidak diperdulikan lagi. Ran tak mau menghampiri Edwin, kali ini ia berjalan berdua bersama Aip teman bermain parodi Edwin menuju ke tempat peristirahatan. Tetap tak ada pembicaraan yang sangat serius.
Kepala rombongan mengajak mereka untuk kembali mengeliligi tempat wisata itu, kebutulan bulan ini sedang musim durian mereka memutuskan untuk mencari penjual durian yang berada di sekitar tempat wisata. Padahal mereka duduk berdampingan di dalam mobil. Edwin selalu membantunya ketika naik bus, dengan memegang tangan Ran. Tetapi mereka hanya berbicara seadanya.
Ran hanya sesekali memandang Edwin dari dalam bus. Ran tak ada selera ingin makan durian, padahal itu favoritnya. Ia memilih untuk menunggu, duduk tenang di mobil. Tapi kali ini Edwin menghampirinya, membawakannya beberapa buah durian yang sudah dikelurkan dari kulitnya.
“Ran, nih aku bawain buat kamu.” Sambil tersenyum dan menyodorkan buah segar durian, Ran menolak.
“Ga ah, lagi ga pengen durian win.”
“Kalo gitu, kamu nyicip dikit aja ya, kata orang tua pamali. Nih aku suapin kamu.”
Ran hanya memandang Edwin, dan menerima suapan edwin. Edwin kembali bergabung bersama teman-temannya. Kembali mereka menikmati waktu yang tersisa di kota ini.
Waktu bergulir begitu cepat, tak terasa mereka telah sibuk mengemasi barang-barangnya dan mulai merapikannya di dalam bagasi bus. Ran bersama Edwin, membantunya berbenah atas permintaan Edwin. Sambil sibuk mengemasi barang-barangnya. Mereka saling berpandangan, Edwin tiba-tiba mendekati Ran. Memeluk erat Ran dalam dekapan hangatnya. Dan berbisik di telinga Ran.
“Aku akan sangat merindukanmu. Sepertinya aku mulai menyukai sesorang yang berada di hadapanku.”
Edwin melepaskan dekapannya, Ran seperti tak mau lepas. Ia masih memeluk erat tubuh edwin. Ran hanya tersenyum.
Rombongan telah siap untuk pergi, bus sudah dipanaskan, barang sudah rapi dikemaskan. Ran menemani Edwin, ia membawakan jaket Edwin yang belum ia kenakan selagi Edwin ke kamar mandi. Matanya mulai berkaca-kaca.
Ran mengambil telefon genggam milik Edwin yang dititip padanya dan menuliskan beberapa kalimat.
Deru mesin sudah memanggilmu
Uuntuk segera berangkat
Aku akan menunggumu di tengah hujan
Agar kau tak melihat air mata ku
Karrna keberangkatanmu
Dan kau berlalu seperti hujan
Yang menyisakan genangan kenangan
Dan kemudian dengan sigap ia menyimpannya kembali di saku jaket edwin. Edwin pun kembali, dan segera ia menyusul teman-temanya.
“Ran, aku berangkat. Jaga diri baik-baik ya ibu guru.” Sambil membelai lembut kepala Ran dan wajahnya. Ran hanya tersenyum. Dalam hatinya berat menahan sedih ketika Edwin meninggalkannya.
Sedih ran terhenti ketika telefon genggamnya berdering beberapa kali.
“edwin: aku udah baca pesan kamu. periksa saku jaket mu ya ran. Aku akan merindukan kamu ibu guru.
Iwan: kalo aku ke sini lagi, kamu temenin aku jala-jalan lagi ya..”
Ran menoleh ke arah bus, kedua nya melambaikan tangan. Ran membalanya dengan berat. Hari sudah mulai hujan, keadaan persis seperti yang tertulis di pesan yang ia berikan pada Edwin. Ran masih bertahan berdiri di tempatnya, menunggu bus berlalu menjauh dan menghilang dari hadapannya. Setelah itu barulah ia pulang. Sesampainya di rumah ia memeriksa saku jaketnya.
Aku melihat kemilau
Yang datang dari pentas sana
Memberikan kehangatan ketika menikmati pagi
Sama seperti fajar
Yang datang memberikan kehangatan setelah embun meyibakkan pagi yang menggigil
Ketika meyapa mu, aku rindu
Itulah isi dari potongan kertas yang ada di dalam saku jaket Ran. Ketika Edwin memeluk ran, Edwin menyelipkan kertas itu.
Beberapa hari kemudian tak ada kabar dari Edwin. Iwan yang bersama Ran saat ini, semua semakin dekat ketika Iwan datang lagi ke kota Ran.